Rabu, 13 Juni 2018

SEKILAS TENTANG SEJARAH JATINANGOR



Jatinangor dulunya adalah bekas perkebunan Djati Nangor (seluas kurang lebih 600 hektar) dibawah perusahaan bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud yang berdiri tahun 1841. Milik seorang tuan tanah bernama Baron W.A. Baud (Willem Abraham Baud hidup 1816-1879) atau lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Baron Baud. Perusahaan ini memiliki beberapa perkebunan selain di Jatinangor yaitu di Ciumbuleuit, Cikasungka Bandung, Pamegatan Garut, Jasinga dan Buitenzorg atau Bogor. Pada awalnya tanaman yang dibudidayakan di Jatinangor adalah tanaman Teh akan tetapi kemudian diganti dengan tanaman Karet pada masa kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api yang menghubungkan Stasiun Tanjungsari ke Stasiun Rancaekek untuk memudahkan mengangkut hasil perkebunan Jatinangor.
Dalam cerita turun temurun yang berkembang pada masyarakat Jatinangor disebutkan bahwa Baron Baud tidak memiliki anak dari istrinya yang sah akan tetapi memiliki anak dari seorang Nyai bernama Antjia Kolot. Nama anaknya adalah Mimosa Ida Louise Junia Baud atau lebih terkenal dengan nama Mimosa Baud. Mimosa lahir pada tanggal 17 Juni 1876. Mimosa kemudian menjadi pewaris tunggal perkebunan Jatinangor. Di Jatinangor terdapat Loji (Kantor dan gudang) untuk mengurusi hasil hasil perkebunan Jatinangor. Sekarang menara di areal Loji tersebut masih berdiri. Menara Loji tersebut dulu berfungsi sebagai lonceng untuk memberi tanda bagi para pekerja di perkebunan itu. Misalnya tanda mulai bekerja, tanda beristirahat di siang hari dan tanda usai bekerja.



 Ketika telah ditanami karet, mulai bekerja menjadi pukul 05.00 pagi, tanda mengambil mangkuk untuk karet pukul 10.00 dan tanda usai bekerja pukul 14.00. Makam Baud dan Mimosa terletak di dekat Loji tersebut. Sekitar 1990-an, masih terdapat dua makam tersebut di dekat menara Loji dengan arsitektur gothic itu. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang di bekas Loji tersebut dibangun taman yang diberi nama Taman Loji. Taman Loji ini menjadi taman penghias wilayah Jatinangor masa sekarang.

Khusus untuk nama Jatinangor, nama itu baru diberikan pada perkebunan tersebut saat dibuka, nama itu diambil berdasarkan tanaman sejenis rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Tanaman sejenis rumput itu memiliki nama latin Alternanthera amoena. Saat Baron Baud datang ke daerah itu, ditemukan banyak tumbuh rumput tersebut (untuk mengetahui rumput tersebut dapat dibaca di Heyne.K. 1950.De Nuttige Planten van Indonesie. Gravenhage: W.van Hoeve). Waktu ia bertanya pada penduduk setempat mereka menyebut nama rumput itu Jatinangor. Oleh karena itu Baron Baud menamakan perkebunannya di daerah itu dengan nama Djati Nangor. Pada awal penulisan Jatinangor adalah Djati Nangor. Dahulu daerah itu merupakan wilayah Distrik Cikeruh yang kemudian ditingkatkan jadi onder district Cikeruh yang termasuk dalam district (kawedanan) Tanjungsari (kemudian berubah menjadi desa Cikeruh) dan pada thn 1982 berdasarkan SK Bupati Sumedang Desa Cikeruh dibagi dua menjadi Desa Hegarmanah dan Desa cikeruh (sebagian besar besar wilayah onder district Cikeruh masuk ke wilayah Desa Hegarmanah). Desa cikeruh dan Desa Hegarmanah adalah bagian dari kecamatan Cikeruh kala itu). Sedangkan nama Jatinangor adalah nama perkebunan milik Baron Baud seluas kurang lebih 600 hektar. (sumber arsip-arsip Perkebunan Djati Nangor dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud . Algemeen Rijksarchief ARA;Den Haag). Baru pada tahun 2004 Nama Jatinangor diresmikan sebagai nama Kecamatan yang dulunya adalah Kecamatan Cikeruh. Sedangkan penduduk Jatinangor sekarang bila ditanya asal usul nama Jatinangor tentu banyak versi jawaban dari masyarakat dan banyak diantaranya yang menjawab berasal dari kata "Jatina ngora" dalam bahasa Sunda yang berarti Jatinya muda.
  
Semula perkebunan Djati Nangor tersebut dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda memberikan kepada pihak swasta untuk mengontrak perkebunan Djati Nangor itu dengan Surat Keputusan 9 November 1842 nomor 1. Pada awalnya Starckenborg Retemeijer mantan asisten residen mengajukan untuk mengontraknya. Akan tetapi pada 12 April 1843 ia meninggal dunia. Akibatnya kuasa atas perkebunan diberikan pada direktur perkebunan tersebut yaitu Baron Baud dengan Surat resmi tanggal 25 April 1843 nomor 545.  Kemudian Baron Baud mengajukan diri untuk mengontrak tanah perkebunan tersebut menggantikan Retemeijer. Kemudian Baron Baud memperoleh surat kontrak baru sebagai pengelola perkebunan Djati Nangor dengan surat tertanggal 3 Desember 1843 nomor 20. Baru pada tahun 1862 Perkebunan Djati Nangor diberikan kepada swasta (Partikelir) sebagai industri bebas sebagaimana diatur berdasarkan surat Keputusan 25 Maret 1862 (ANRI,Staatsblad1856-64). Baron Baud kembali mendapatkan hak mengelola Perkebunan Djati Nangor dengan akta baru dengan tanggal 30 Maret 1865 dan disahkan dengan surat keputusan 19 September 1865 (Arsip Arsip Perkebunan Djati Nangor dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud .Algemeen RijksarchiefARA;Den Haag)  

Rel kereta api yang menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari mulai dibangun tahun 1917 dalam program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 km. Awalnya hanya akan dibangun rel kereta api Rancaekek-Jatinangor saja sepanjang 5,25 km untuk keperluan mengangkut hasil perkebunan Jatinangor saja. Letak stasiun kereta api di Jatinangor awalnya direncanakan di seberang pertigaan jalan Sayang sekarang. Atas permintaan pihak militer rel kereta api itu agar digunakan untuk keperluan angkutan umum juga maka diperpanjanglah hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5 km (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-1930: 71). Stasiun pun kemudian dipindahkan ke Tanjungsari. Jembatan Cincin (Jembatan kereta api) di Jatinangor mulai di bangun 1918. Penduduk sekitar perkebunan Jatinangor dan Tanjungsari menyebutnya Jembatan Kereta Api si Gobar. Si Gobar adalah nama julukan kereta api yang wira wiri melewati rel kereta apitersebut. Tetapi kemudian rel kereta api hingga Citali ditangguhkan karena kekurangan biaya dan peralatan untuk menembus alam disana sehingga rel kereta api itu hanya sampai stasiun Tanjungsari (ANRI, 1976, Memori van Overgave1921-1930: 105). Sekarang salah satu jembatan kereta api tersebut masih berdiri dan disebut jembatan Cincin.

Dalam cerita sejarah daerah Jatinangor (diambil dari cerita rakyat setempat yang diceritakan secara turun temurun yang diceritakan beberapa sesepuh di Jatinangor kepada penulis) diceritakan bahwa Baron Baud seorang tuan tanah pemilik Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud di Jatinangor (arsip-arsip perkebunan ini masih tersimpan di kantorAlgemeen Rijksarchief ARA Den Haag). Ia tidak memiliki seorang anak dari istri sahnya (perempuan dari Eropa). Oleh karena itu ia menikah secara sembunyi atau melakukan pergundikan dengan gadis pribumi yang usianya terpaut jauh puluhan tahun (sekitar 20-an tahun)(tentang pergundikan pada masa ini dapat dibaca pada buku berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay terbitan komunitas Bambu 2010). Ia sering memanggil gadis pribumi itu dengan nama Nyai. Nama nyai itu sebenarnya adalah Antjia Kolot. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan yang ia beri nama Mimosa. Akan tetapi kemudian kedua perempuan itu harus dipindahkan jauh ke Buitenzorg (Bogor).  Di Buitenzorg Mimosa diubah namanya menjadi Ida. Disana di Buitenzorg Antjia Kolot dinikahi oleh seorang kusir delman dan hidup bahagia. Mimosa kecil lahir dan besar bersama ibu dan bapak tirinya di Buitenzorg. Suatu saat setelah istrinya meninggal Baron Baud dikunjungi saudara saudaranya dari Eropa. Rupanya telah terjadi perselisihan yang berujung pertengkaran antara Baron Baud dengan saudara saudaranya dari Eropa tersebut. Akibat dari pertengkaran tersebut Baron Baud baru memikirkan pewarisan tanah perkebunannya di Jatinangor. Oleh karena itu ia memutuskan untuk pergi ke Buitenzorg menemui seorang ahli hukum bernama Meertens. Bersama Meertens kemudian Baron Baud mencari Antjia Kolot dan anaknya yg bernama Mimosa. Terjadi pertemuan yang mengharukan antara Baron Baud dengan Nyai Antjia Kolot dan Mimosa. Setelah ditemukan kemudian Mimosa diadopsi secara hukum agar jadi anak sah dari Baron Baud dan dibawa ke Jatinangor. Mimosa meronta-ronta menolak dibawa ke Jatinangor akan tetapi Nyai Antjia berusaha membujuknya. Nama Ida Kemudian berubah menjadi Baronesse Ida Louise Junia Baud setelah sah secara administratif sebagai anak dari Baron Baud.
Setelah memasuki usia sekolah Mimosa kemudian disekolahkan di sekolah anak-anak di Batavia. Atas saran dan usul Gubernur Jendral kala itu J.W. van Lansberge dan penggantinya Frederik Jacob, maka Mimosa kecil diasuh dibawah perwalian Horra Siccema mantan anggota Raad van Indie. Mengapa bukan Baron Baud yang menjadi wali dari Mimosa ketika ia masuk sekolah ? hal ini terjadi karena Baron Baud sudah meninggal saat Mimosa masih kecil sebelum Mimosa memasuki usia sekolah. Beberapa tahun setelah Mimosa bersekolah di Batavia kemudian Mimosa dikirim ke Belanda untuk meneruskan sekolahnya. Saat itu ia bisa kuliah di Belanda karena telah menjadi kaya raya akibat harta warisan dari Baron Baud berupa perkebunan Jatinangor. Setelah lulus Mimosa sempat menikah tiga kali. Pernikahan pertama tahun 1899 dengan Otto Harald Lincoln Furuhjelm yang bercerai 1903. Pernikahan kedua 1904 dengan Martin Wilhelm Kroll juga berakhir tanpa diketahui tahunnya. beberapa sumber data mengatakan bukan bercerai tapi suami keduanya meninggal. Terakhir Mimosa menikah dengan seorang Denmark bernama Dietrich Joachim von Klitzing tahun 1908 yang kemudian ikut memimpin perkebunan Jatinangor bersama Mimosa istrinya hingga mereka bercerai tahun 1919. 
Setelah bercerai untuk ketiga kalinya kemudianMimosa kembali ke Jatinangor dari Eropa untuk mengurusi perkebunannya di Cikeruh distrik Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Selama iniperkebunan diurus oleh Pemerintah Hindia Belanda dibawah para Gubernur Jenderal (Carel H. A. van der Wijck, Willem Rooseboom, Johannes B. van Heutsz, A.W.F. Idenburg, Johan Paul van Limburg Stirum) setelah Baron Baud meninggal dan Mimosa belum cukup umuruntuk mengurusnya. 
Makam ayahnya yaitu Baron Baud yang terletak di dekat Loji perkebunan Jatinangor ia rawat sedemikian rupa. Bahkan Mimosa ingin dimakamkan disamping makam ayahnya tersebut ketika meninggal nanti. Mimosa memang kemudian telah menjelma dari anak seorang Nyai dan kusir delman menjadi pengusaha perkebunan Jatinangor. Ia memilikianak-anak bahagia dan kaya raya. Ketika ia meninggal menjelang perang dunia dua terjadi yaitu 15 Maret 1935 di Roma Itali, sesuai wasiatnya Mimosa kemudian dimakamkan di dekat makam ayahnya yaitu di dekat Loji perkebunan Jatinangor. Anak-anak keturunan Mimosa yang ikut mengurusi perkebunan Jatinangor melarikan diri ke Australia ketika Jepang menyerbu Pulau Jawa.
Perkebunan Jatinangor diambil alih Pemerintah Pendudukan Jepang dan kemudian diambil alih oleh Pemda Jawa Barat ketika Indonesia merdeka. Ketika Masa Pendudukan Jepang,Perkebunan Jatinangor tidak terurus. Perkebunan berhenti berproduksi. Tidak ada lagi yang berusaha mengurusnya. Banyak buruh-buruh diperkebunan dan pegawai kereta api Tanjungsari yang dijadikan romusha dan sebagian lagi dari buruh buruh yang masih tinggal di sekitar Jatinangor menduduki tanah-tanah perkebunan dan mendirikan rumah-rumah mereka setelah perkebunan berhenti berproduksi. Onderneming Jatinangor ditutup pada 1942.  Bukan hanya itu, rel kereta api yang melewati perkebunan yang menghubungkan Distrik Tanjungsari ke Stasiun Rancaekek telah diangkut Jepang untuk keperluan perang Jepang sekitar 1943. Akibatnya Stasiun Tanjungsari menjadi mati hingga sekarang. 
Memasuki tahun 1950-an tanah bekas perkebunan ini ditanami Karet dan menjadi milik pemerintah daerah Jawa Barat. Walaupun demikian administratur perkebunan masih dijabat oleh orang Belanda hingga perkebunan tersebut dinasionalisasi. Pada saat perkebunan dinasionalisasi baru administratur dijabat oleh orang-orang Indonesia. 
Sekarang perkebunan karet tidak lagi berproduksi. Tanah bekas perkebunan Djati Nangor tidak lagi menjadi perkebunan pada masa Orde Baru (sejak 1967). Pada tahun 1980 lonceng di menara Loji hilang dicuri orang dan hingga sekarang tidak ditemukan. 
Perkebunan Jatinangor sekarang telah berubah menjadi wilayah pendidikan Unpad, Ikopin, IPDN dan ITB (dulu Universitas Winaya Mukti), tetapi taman Loji tetap dipertahankan sebagai saksi bisu sejarah Jatinangor.