Jatinangor dulunya adalah bekas perkebunan
Djati Nangor (seluas kurang lebih 600 hektar) dibawah perusahaan
bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud yang berdiri
tahun 1841. Milik seorang tuan tanah bernama Baron W.A. Baud (Willem Abraham
Baud hidup 1816-1879) atau lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Baron
Baud. Perusahaan ini memiliki beberapa perkebunan selain di Jatinangor yaitu di
Ciumbuleuit, Cikasungka Bandung, Pamegatan Garut, Jasinga dan Buitenzorg
atau Bogor. Pada awalnya tanaman yang dibudidayakan di Jatinangor adalah
tanaman Teh akan tetapi kemudian diganti dengan tanaman Karet pada masa
kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api yang
menghubungkan Stasiun Tanjungsari ke Stasiun Rancaekek untuk memudahkan mengangkut
hasil perkebunan Jatinangor.
Dalam cerita turun temurun yang berkembang
pada masyarakat Jatinangor disebutkan bahwa Baron Baud tidak memiliki anak dari
istrinya yang sah akan tetapi memiliki anak dari seorang Nyai bernama Antjia
Kolot. Nama anaknya adalah Mimosa Ida Louise Junia Baud atau lebih terkenal
dengan nama Mimosa Baud. Mimosa lahir pada tanggal 17 Juni 1876. Mimosa
kemudian menjadi pewaris tunggal perkebunan Jatinangor. Di Jatinangor terdapat
Loji (Kantor dan gudang) untuk mengurusi hasil hasil perkebunan Jatinangor.
Sekarang menara di areal Loji tersebut masih berdiri. Menara Loji tersebut dulu
berfungsi sebagai lonceng untuk memberi tanda bagi para pekerja di
perkebunan itu. Misalnya tanda mulai bekerja, tanda beristirahat di siang hari
dan tanda usai bekerja.
Ketika telah ditanami karet, mulai bekerja menjadi pukul 05.00 pagi, tanda mengambil mangkuk untuk karet pukul 10.00 dan tanda usai bekerja pukul 14.00. Makam Baud dan Mimosa terletak di dekat Loji tersebut. Sekitar 1990-an, masih terdapat dua makam tersebut di dekat menara Loji dengan arsitektur gothic itu. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang di bekas Loji tersebut dibangun taman yang diberi nama Taman Loji. Taman Loji ini menjadi taman penghias wilayah Jatinangor masa sekarang.
Khusus untuk nama Jatinangor, nama itu baru
diberikan pada perkebunan tersebut saat dibuka, nama itu diambil berdasarkan
tanaman sejenis rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Tanaman sejenis
rumput itu memiliki nama latin Alternanthera amoena. Saat Baron Baud
datang ke daerah itu, ditemukan banyak tumbuh rumput tersebut (untuk
mengetahui rumput tersebut dapat dibaca di Heyne.K. 1950.De Nuttige Planten van
Indonesie. Gravenhage: W.van Hoeve). Waktu ia bertanya pada penduduk setempat
mereka menyebut nama rumput itu Jatinangor. Oleh karena itu Baron Baud
menamakan perkebunannya di daerah itu dengan nama Djati Nangor. Pada awal
penulisan Jatinangor adalah Djati Nangor. Dahulu daerah itu merupakan
wilayah Distrik Cikeruh yang kemudian ditingkatkan jadi onder district
Cikeruh yang termasuk dalam district (kawedanan) Tanjungsari (kemudian
berubah menjadi desa Cikeruh) dan pada thn 1982 berdasarkan SK Bupati Sumedang
Desa Cikeruh dibagi dua menjadi Desa Hegarmanah dan Desa cikeruh (sebagian
besar besar wilayah onder district Cikeruh masuk ke wilayah Desa Hegarmanah).
Desa cikeruh dan Desa Hegarmanah adalah bagian dari kecamatan Cikeruh kala
itu). Sedangkan nama Jatinangor adalah nama perkebunan milik Baron Baud seluas
kurang lebih 600 hektar. (sumber arsip-arsip Perkebunan Djati Nangor
dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud . Algemeen
Rijksarchief ARA;Den Haag). Baru pada tahun 2004 Nama Jatinangor diresmikan
sebagai nama Kecamatan yang dulunya adalah Kecamatan Cikeruh. Sedangkan penduduk
Jatinangor sekarang bila ditanya asal usul nama Jatinangor tentu
banyak versi jawaban dari masyarakat dan banyak diantaranya
yang menjawab berasal dari kata "Jatina ngora" dalam bahasa
Sunda yang berarti Jatinya muda.
Semula perkebunan Djati Nangor tersebut
dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal. Kemudian
Pemerintah Hindia Belanda memberikan kepada pihak swasta untuk mengontrak
perkebunan Djati Nangor itu dengan Surat Keputusan 9 November 1842 nomor 1.
Pada awalnya Starckenborg Retemeijer mantan asisten residen mengajukan untuk
mengontraknya. Akan tetapi pada 12 April 1843 ia meninggal dunia. Akibatnya
kuasa atas perkebunan diberikan pada direktur perkebunan tersebut yaitu Baron
Baud dengan Surat resmi tanggal 25 April 1843 nomor 545. Kemudian Baron
Baud mengajukan diri untuk mengontrak tanah perkebunan tersebut menggantikan
Retemeijer. Kemudian Baron Baud memperoleh surat kontrak baru sebagai pengelola
perkebunan Djati Nangor dengan surat tertanggal 3 Desember 1843 nomor 20. Baru
pada tahun 1862 Perkebunan Djati Nangor diberikan kepada swasta (Partikelir)
sebagai industri bebas sebagaimana diatur berdasarkan surat Keputusan 25 Maret
1862 (ANRI,Staatsblad1856-64). Baron Baud kembali mendapatkan hak mengelola
Perkebunan Djati Nangor dengan akta baru dengan tanggal 30 Maret 1865 dan
disahkan dengan surat keputusan 19 September 1865 (Arsip Arsip Perkebunan Djati
Nangor dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van Maatschappij
Baud .Algemeen RijksarchiefARA;Den Haag)
Rel kereta api yang menghubungkan Rancaekek
ke Tanjungsari mulai dibangun tahun 1917 dalam program proyek rel kereta api
Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 km. Awalnya hanya akan dibangun rel
kereta api Rancaekek-Jatinangor saja sepanjang 5,25 km untuk keperluan mengangkut
hasil perkebunan Jatinangor saja. Letak stasiun kereta api di Jatinangor
awalnya direncanakan di seberang pertigaan jalan Sayang sekarang. Atas
permintaan pihak militer rel kereta api itu agar digunakan untuk keperluan
angkutan umum juga maka diperpanjanglah hingga ke Tanjungsari dan Citali
sepanjang 11,5 km (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-1930: 71).
Stasiun pun kemudian dipindahkan ke Tanjungsari. Jembatan Cincin (Jembatan
kereta api) di Jatinangor mulai di bangun 1918. Penduduk sekitar perkebunan
Jatinangor dan Tanjungsari menyebutnya Jembatan Kereta Api si Gobar. Si Gobar
adalah nama julukan kereta api yang wira wiri melewati rel kereta apitersebut. Tetapi kemudian rel kereta api hingga Citali ditangguhkan karena
kekurangan biaya dan peralatan untuk menembus alam disana sehingga rel kereta
api itu hanya sampai stasiun Tanjungsari (ANRI, 1976, Memori van
Overgave1921-1930: 105). Sekarang salah satu jembatan kereta api tersebut masih
berdiri dan disebut jembatan Cincin.
Dalam cerita sejarah daerah Jatinangor
(diambil dari cerita rakyat setempat yang diceritakan secara turun temurun yang
diceritakan beberapa sesepuh di Jatinangor kepada penulis) diceritakan
bahwa Baron Baud seorang tuan tanah pemilik Cultuur Ondernemingen van
Maatschappij Baud di Jatinangor (arsip-arsip perkebunan ini masih
tersimpan di kantorAlgemeen Rijksarchief ARA Den Haag). Ia tidak
memiliki seorang anak dari istri sahnya (perempuan dari Eropa). Oleh karena itu
ia menikah secara sembunyi atau melakukan pergundikan dengan gadis pribumi
yang usianya terpaut jauh puluhan tahun (sekitar 20-an tahun)(tentang
pergundikan pada masa ini dapat dibaca pada buku berjudul Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay terbitan komunitas Bambu
2010). Ia sering memanggil gadis pribumi itu dengan nama
Nyai. Nama nyai itu sebenarnya adalah Antjia Kolot.
Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan yang ia beri
nama Mimosa. Akan tetapi kemudian kedua perempuan itu harus dipindahkan jauh ke
Buitenzorg (Bogor). Di Buitenzorg Mimosa diubah namanya menjadi Ida.
Disana di Buitenzorg Antjia Kolot dinikahi oleh seorang kusir delman dan hidup
bahagia. Mimosa kecil lahir dan besar bersama ibu dan bapak tirinya di
Buitenzorg. Suatu saat setelah istrinya meninggal Baron Baud dikunjungi saudara
saudaranya dari Eropa. Rupanya telah terjadi perselisihan yang berujung
pertengkaran antara Baron Baud dengan saudara saudaranya dari Eropa tersebut.
Akibat dari pertengkaran tersebut Baron Baud baru memikirkan pewarisan tanah
perkebunannya di Jatinangor. Oleh karena itu ia memutuskan untuk pergi ke
Buitenzorg menemui seorang ahli hukum bernama Meertens. Bersama Meertens
kemudian Baron Baud mencari Antjia Kolot dan anaknya yg bernama Mimosa. Terjadi
pertemuan yang mengharukan antara Baron Baud dengan Nyai Antjia Kolot dan
Mimosa. Setelah ditemukan kemudian Mimosa diadopsi secara hukum agar jadi anak
sah dari Baron Baud dan dibawa ke Jatinangor. Mimosa meronta-ronta menolak
dibawa ke Jatinangor akan tetapi Nyai Antjia berusaha membujuknya. Nama Ida Kemudian
berubah menjadi Baronesse Ida Louise Junia Baud setelah sah secara
administratif sebagai anak dari Baron Baud.
Setelah memasuki usia sekolah Mimosa
kemudian disekolahkan di sekolah anak-anak di Batavia. Atas saran dan usul
Gubernur Jendral kala itu J.W. van Lansberge dan penggantinya Frederik
Jacob, maka Mimosa kecil diasuh dibawah perwalian Horra Siccema mantan
anggota Raad van Indie. Mengapa bukan Baron Baud yang menjadi wali dari Mimosa
ketika ia masuk sekolah ? hal ini terjadi karena Baron Baud sudah meninggal
saat Mimosa masih kecil sebelum Mimosa memasuki usia sekolah. Beberapa tahun
setelah Mimosa bersekolah di Batavia kemudian Mimosa dikirim ke Belanda untuk
meneruskan sekolahnya. Saat itu ia bisa kuliah di Belanda karena telah menjadi
kaya raya akibat harta warisan dari Baron Baud berupa perkebunan
Jatinangor. Setelah lulus Mimosa sempat menikah tiga kali. Pernikahan
pertama tahun 1899 dengan Otto Harald Lincoln Furuhjelm yang bercerai 1903.
Pernikahan kedua 1904 dengan Martin Wilhelm Kroll juga berakhir tanpa diketahui
tahunnya. beberapa sumber data mengatakan bukan bercerai tapi suami keduanya
meninggal. Terakhir Mimosa menikah dengan seorang Denmark bernama Dietrich
Joachim von Klitzing tahun 1908 yang kemudian ikut memimpin perkebunan
Jatinangor bersama Mimosa istrinya hingga mereka bercerai tahun 1919.
Setelah bercerai untuk ketiga
kalinya kemudianMimosa kembali ke Jatinangor dari Eropa untuk
mengurusi perkebunannya di Cikeruh distrik Tanjungsari Kabupaten Sumedang.
Selama iniperkebunan diurus oleh Pemerintah Hindia Belanda dibawah para
Gubernur Jenderal (Carel H. A. van der Wijck, Willem Rooseboom, Johannes B. van
Heutsz, A.W.F. Idenburg, Johan Paul van Limburg Stirum) setelah Baron Baud
meninggal dan Mimosa belum cukup umuruntuk mengurusnya.
Makam ayahnya yaitu Baron Baud yang
terletak di dekat Loji perkebunan Jatinangor ia rawat sedemikian rupa. Bahkan
Mimosa ingin dimakamkan disamping makam ayahnya tersebut ketika meninggal
nanti. Mimosa memang kemudian telah menjelma dari anak seorang Nyai dan kusir
delman menjadi pengusaha perkebunan Jatinangor. Ia
memilikianak-anak bahagia dan kaya raya. Ketika ia meninggal menjelang
perang dunia dua terjadi yaitu 15 Maret 1935 di Roma Itali, sesuai wasiatnya
Mimosa kemudian dimakamkan di dekat makam ayahnya yaitu di dekat Loji
perkebunan Jatinangor. Anak-anak keturunan Mimosa yang ikut mengurusi
perkebunan Jatinangor melarikan diri ke Australia ketika Jepang menyerbu Pulau
Jawa.
Perkebunan Jatinangor diambil alih
Pemerintah Pendudukan Jepang dan kemudian diambil alih oleh Pemda Jawa Barat
ketika Indonesia merdeka. Ketika Masa Pendudukan Jepang,Perkebunan Jatinangor
tidak terurus. Perkebunan berhenti berproduksi. Tidak ada lagi yang
berusaha mengurusnya. Banyak buruh-buruh diperkebunan dan pegawai kereta
api Tanjungsari yang dijadikan romusha dan sebagian lagi dari buruh buruh yang
masih tinggal di sekitar Jatinangor menduduki tanah-tanah perkebunan dan
mendirikan rumah-rumah mereka setelah perkebunan berhenti
berproduksi. Onderneming Jatinangor ditutup pada 1942. Bukan
hanya itu, rel kereta api yang melewati
perkebunan yang menghubungkan Distrik Tanjungsari ke Stasiun
Rancaekek telah diangkut Jepang untuk keperluan perang Jepang sekitar
1943. Akibatnya Stasiun Tanjungsari menjadi mati hingga sekarang.
Memasuki tahun 1950-an tanah bekas
perkebunan ini ditanami Karet dan menjadi milik pemerintah daerah Jawa
Barat. Walaupun demikian administratur perkebunan masih dijabat oleh orang
Belanda hingga perkebunan tersebut dinasionalisasi. Pada saat perkebunan
dinasionalisasi baru administratur dijabat oleh orang-orang Indonesia.
Sekarang perkebunan karet tidak lagi
berproduksi. Tanah bekas perkebunan Djati Nangor tidak lagi menjadi perkebunan
pada masa Orde Baru (sejak 1967). Pada tahun 1980 lonceng di menara Loji hilang
dicuri orang dan hingga sekarang tidak ditemukan.
Perkebunan Jatinangor sekarang telah
berubah menjadi wilayah pendidikan Unpad, Ikopin, IPDN dan ITB (dulu
Universitas Winaya Mukti), tetapi taman Loji tetap dipertahankan sebagai saksi
bisu sejarah Jatinangor.